UY0EvzZgeEEo4KiQ1NIivy9VYY1PQHFF9n6p7Enr
Bookmark

Catur Warna: Empat Golongan Profesi Dalam Kehidupan dan Perbedaannya Dengan Kasta

Catur Warna: Empat Golongan Profesi Dalam Kehidupan
Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, Catur Warna telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Mengakar dalam ajaran agama Hindu dan mitologi kuno, konsep ini mengatur hubungan sosial, ekonomi, dan spiritual antarindividu dalam masyarakat. Namun, di balik kekayaan budaya dan spiritualitas yang dimilikinya, sistem ini juga memunculkan tantangan dalam menjaga kesetaraan dan keadilan.

Mari kita telusuri lebih dalam tentang asal usul, struktur, dan implikasi Catur Warna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu Bali. Dari pemahaman tentang kelas-kelas sosial hingga upaya mengatasi ketidaksetaraan yang dihasilkan, perjalanan ini akan membantu kita memahami peran dan tantangan yang dihadapi oleh Catur Warna dalam konteks budaya dan agama Hindu Bali.

Pengertian Catur Warna

Pengertian Catur Warna
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata "Catur" berarti empat dan kata "warna" yang berasal dari urat kata "Wr" (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan keterampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan.

Dalam konsep ini, individu dikelompokkan ke dalam salah satu dari empat kelas, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra, berdasarkan sifat-sifat alami, bakat, dan kualitas kerja mereka. Setiap kelas memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri dalam masyarakat, dan sistem ini dianggap sebagai cara untuk memastikan keberagaman dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Hindu Bali.

Penjelasan Mengenai Setiap Warna:

  1. Warna Brahmana (Putih): Golongan Brahmana disimbolkan berwarna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
  2. Warna Ksatria (Merah): Golongan Ksatria disimbolkan berwarna merah, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan, dan pertahanan keamanan negara.
  3. Warna Waishya (Kuning): Golongan Waisya disimbolkan berwarna kuning, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat, seperti perekonomian, perindustrian, dan sektor-sektor lainnya.
  4. Warna Sudra (Hitam): Golongan Sudra disimbolkan berwarna hitam, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan, termasuk pekerjaan manual dan pekerjaan kasar lainnya.

Asal Usul Catur Warna

Catur Warna memiliki akar dalam kitab suci Hindu, yaitu Weda. Menurut mitologi Hindu, manusia pertama diciptakan dari berbagai bagian tubuh Dewa Brahma. Dari kepala Brahma lahir para Brahmana (para pendeta), dari lengan lahir Ksatria (para ksatria), dari perut lahir Waisya (pedagang dan petani), dan dari kaki lahir Sudra (pekerja).

Konsep ini diyakini telah ada sejak zaman kuno di India dan kemudian menjadi dasar bagi struktur sosial dalam masyarakat Hindu, termasuk di Bali. Meskipun telah mengalami interpretasi dan penyesuaian selama berabad-abad, Catur Warna tetap menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya Hindu Bali.

Bagian-bagian Catur Warna

Berikut adalah penjelasan tiap bagian-bagian dari Catur Warna, yaitu:

1. Brahmana

Brahmana dalam Catur Warna
Brahmana merupakan golongan pendeta dan rohaniwan dalam suatu warga, sehingga golongan tersebut merupakan golongan yang paling dihormati. Dalam ajaran Warna, seseorang diceritakan menyandang gelar Brahmana karena keahliannya dalam anggota ilmu keagamaan. Jadi, status sebagai Brahmana tidak bisa diperoleh semenjak lahir. Status Brahmana diperoleh dengan menekuni ajaran agama sampai seseorang layak dan diakui sebagai rohaniwan.

Para Brahmana bertanggung jawab atas ritual keagamaan, pelayanan dewa, dan penyebaran pengetahuan spiritual. Mereka juga sering menjadi penasihat para pemimpin dan diberi penghormatan tinggi dalam masyarakat Hindu Bali. Dalam struktur sosial, posisi Brahmana dianggap sebagai yang paling penting karena mereka dianggap memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan spiritual yang mendalam, yang diperoleh melalui pendidikan dan pengabdian yang lama.

2. Ksatria

Ksatria dalam Catur Warna
Ksatria merupakan golongan para bangsawan yang menekuni anggota pemerintahan atau administrasi negara. Ksatriya juga merupakan golongan para kesatria atau para Raja yang berbakat dalam anggota militer dan bijak menggunakan senjata. Kewajiban golongan Ksatriya adalah melindungi golongan Brahmana, Waisya, dan Sudra. Apabila golongan Ksatriya melakukan kewajibannya dengan adil, karenanya mereka mendapat balas afal yang berguna secara tidak langsung dari golongan manusia, Waisya, dan Sudra.

Para Ksatriya dihormati karena keberanian, keadilan, dan kepemimpinan mereka. Mereka bertanggung jawab atas keamanan dan pertahanan negara, serta memastikan pelaksanaan hukum dan tata pemerintahan yang adil. Dalam masyarakat Hindu Bali, kedudukan Ksatriya sering kali dihubungkan dengan kekuasaan politik dan pengambilan keputusan yang strategis.

3. Waisya

Wesya dalam Catur Warna
Waisya merupakan golongan para pedagang, petani, nelayan, dan profesi lainnya yang termasuk anggota perniagaan atau pekerjaan yang menangani segala sesuatu yang bersifat material, seperti misalnya makanan, pakaian, harta benda, dsb-nya. Kewajiban mereka adalah memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) golongan Brahmana, Ksatria, dan Sudra.

Para Waisya dianggap penting dalam masyarakat Hindu Bali karena mereka bertanggung jawab atas produksi dan distribusi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Mereka memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan ekonomi dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh kelas-kelas lainnya. Meskipun status mereka di bawah Ksatriya dan Brahmana, peran mereka dalam memastikan kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat dihargai.

4. Sudra

Brahmana dalam Catur Warna
Sudra merupakan golongan para pekerja yang membantu golongan Brahmana, Ksatria, dan Waisya supaya pekerjaan mereka bisa terpenuhi. Dalam filsafat Hindu, tanpa adanya golongan Sudra, karenanya kewajiban ketiga kasta tidak bisa terwujud. Jadi dengan adanya golongan Sudra, karenanya ketiga kasta bisa melakukan kewajibannya secara seimbang dan saling memberikan kontribusi.

Para Sudra dihargai karena pekerjaan mereka yang memastikan kelancaran kegiatan sehari-hari dalam masyarakat. Mereka biasanya terlibat dalam pekerjaan fisik dan tugas-tugas kasar lainnya yang membutuhkan kekuatan dan ketekunan. Meskipun posisi mereka dianggap lebih rendah dalam hierarki sosial, kontribusi mereka dianggap sangat berharga dalam memelihara struktur sosial yang utuh.

Perbedaan Catur Warna dan Kasta

Perbedaan Catur Warna dan Kasta
Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste" yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah kasta tidak tertuang di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".

Perbedaan antara Catur Warna dan kasta terletak pada asal-usul dan konsepnya. Catur Warna lebih berakar dalam ajaran agama Hindu yang menekankan pada pembagian berdasarkan guna (bakat) dan karma (perbuatan), sementara kasta lebih terkait dengan faktor kelahiran dan status sosial keluarga. Catur Warna menekankan pada kerja dan keahlian yang memperoleh pengakuan, sedangkan kasta sering kali menjadi penentu status sosial seseorang tanpa memperhatikan kualifikasi atau keahlian individu. Meskipun demikian, dalam praktiknya, kedua konsep ini seringkali dicampuradukkan dan diintegrasikan dalam masyarakat Hindu.

Banyak orang sering kali menganggap Catur Warna sama dengan Kasta, yang memberikan seseorang status dalam masyarakat sejak lahir. Namun, dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna diperoleh setelah seseorang menekuni suatu bidang atau profesi tertentu. Sistem Warna memang membedakan posisi seseorang, namun dalam ajarannya, sistem Warna mendorong individu untuk menjalankan kewajiban dengan sebaik mungkin.

Terkadang, seseorang lahir dalam keluarga dengan status sosial yang tinggi, dan hal ini bisa membuat anaknya merasa bangga dengan status tersebut daripada fokus pada pelaksanaan kewajiban. Sistem Warna mengajarkan agar seseorang tidak membanggakan atau terlalu memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan keahlian dan bakat yang dimiliki. Oleh karena itu, sistem Warna menekankan pada pengembangan diri, pengabdian, dan tanggung jawab, bukan hanya pada posisi sosial yang diperoleh secara turun temurun.

Penutup

Catur Warna, atau sistem kasta, telah menjadi bagian integral dari masyarakat Hindu Bali selama berabad-abad. Konsep ini, yang memiliki akar dalam ajaran agama Hindu dan mitologi, mengatur struktur sosial dan hierarki dalam masyarakat. Meskipun ada perbedaan antara Catur Warna dan konsep kasta yang lebih modern, kedua sistem ini seringkali bersinggungan dalam praktiknya.

Meskipun telah ada upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan yang dihasilkan oleh sistem kasta, pengaruh Catur Warna masih kuat dalam kehidupan sehari-hari di Bali. Masyarakat Bali terus berjuang untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, di mana setiap individu dihargai atas keahlian dan kontribusinya, tanpa memandang latar belakang atau status kelahiran.

Dalam era sekarang, tantangan bagi masyarakat Hindu Bali adalah bagaimana menghormati tradisi sambil juga mempromosikan kesetaraan dan keadilan sosial. Pendidikan, kesadaran akan hak asasi manusia, dan dialog antarbudaya menjadi kunci dalam upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan yang mungkin timbul dari sistem Catur Warna yang masih ada. Dengan demikian, masyarakat Hindu Bali dapat terus berkembang menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang atau kasta mereka.

Dengan demikian, sistem Warna tidak hanya sekadar tentang status, tetapi juga tentang penghargaan terhadap pengembangan diri dan kontribusi positif kepada masyarakat. Ini adalah prinsip yang memandu individu untuk menjadi lebih bertanggung jawab dengan status yang dimilikinya, daripada hanya membanggakannya.

Refrensi:
  • https://www.babadbali.com/canangsari/pa-catur-warna.htm
Posting Komentar

Posting Komentar