UY0EvzZgeEEo4KiQ1NIivy9VYY1PQHFF9n6p7Enr
Bookmark

Banten dan Tahapan Prosesi Ngotonin Atau Otonan: Upacara Peringatan Hari Kelahiran Dalam Agama Hindu

Banten dan Tahapan Prosesi Ngotonin: Upacara Peringatan Hari Kelahiran Dalam Agama Hindu
Kelahiran manusia sebagai mahluk hidup yang lebih sempurna dan utama keberadaannya bila dibandingkan dengan mahluk-mahluk hidup yang lainnya sesama ciptaan Tuhan, patut diterima dan disyukuri dalam kesempatan hidupnya didunya ini. Akibat dari kesempurnaannya itu manusia mempunyai kedudukan sebagai Subyek dan Obyek.

Dalam kehidupannya manusia dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup yang rumit dan kompleks, lahir dan batin. Kendatipun dinyatakan sudah sempurna, namun secara sadar dapat diakui bahwa kemampuan manusia itu sangat terbatas adanya. Untuk mengurangi rasa keterbatasan yang dimilikinya itu, manusia patut selalu berusaha mendekatkan dirinya kehadapan Tukan secara lahir dan batin, sebab Tuhan Itu adalah merupakan asal dan tujuan akhir dalam kehidupannya.

Pengertian Ngotonin

Pengertian ngotonin atau otonan
Ngotonin atau Otonan merupakan istilah dalam bahasa Bali yang merujuk pada pelaksanaan upacara agama Hindu yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya, bertepatan dengan hari kelahirannya. Upacara ini melibatkan perhitungan saptawara, pancawara, dan wuku yang mengiringinya. Ngotonin merupakan bagian dari serangkaian upacara dalam konsep Manusa Yadnya, yang merupakan bagian dari Panca Yadnya.

Upacara Ngotonin biasanya dimulai ketika bayi mencapai usia enam bulan atau 210 hari sebagai peringatan hari kelahirannya yang pertama, dan seterusnya dilakukan setiap enam bulan selama hidupnya. Dalam lontar Semarareka, didsebutkan upacara ngotonin dianggap sebagai hari yang pingit dan tidak boleh dilewatkan. Di kalangan keluarga bangsawan, Ngotonin dikenal dengan istilah Ngodalin, yang memiliki makna yang sama.

Asal mula kata "Ngotonin" berasal dari "oton", yang artinya wetu atau metu, yang berarti lahir. Sedangkan "Ngodalin" berasal dari kata "odal", yang artinya medal atau wedal, kedua-duanya dalam bahasa Bali mengandung makna lahir atau keluar untuk pertama kalinya dari perut ibu (bhuwana alit) ke dunia atau alam semesta (bhuwana agung). Upacara Ngotonin ini menjadi bagian penting dalam perjalanan spiritual manusia Hindu Bali, menandai momen penting kelahiran dan penghormatan terhadap keberadaan manusia dalam alam semesta.

Makan dan Filosofis Upacara Ngotonin

Makan dan Filosofis Upacara Ngotonin
Ngotonin atau Ngodalin adalah upacara yang memperingati hari kelahiran, yang dianggap sangat penting bagi setiap umat Hindu dalam setiap kesempatan hidupnya, dilakukan setiap enam bulan sekali secara khusus. Setiap orang memiliki hari kelahiran yang unik, yang membedakannya dari yang lain. 

Penyelenggaraan upacara Ngotonin memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk mengingatkan kita akan makna dan tujuan dari samsara atau kelahiran kembali, atau proses kelahiran kembali ke dunia sebagai manusia. Secara spiritual, upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan orang yang diupacarai, sementara secara lahiriah, tujuannya adalah untuk menyegarkan ingatan akan kesempatan hidup yang harus disyukuri, yang sulit diperoleh dan sifatnya hanya sementara.

Hidup manusia di dunia ini penuh dengan berbagai permasalahan yang rumit dan kompleks. Untuk menjadi manusia yang hidupnya tertuntun, diperlukan pendekatan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa melalui upacara Ngotonin, baik secara lahir maupun batin. Melalui peringatan hari kelahiran ini, kita memohon bimbingan pada Ida Hyang Widhi Wasa, yang dianggap sebagai asal dan tujuan akhir kehidupan manusia.

Banten Ngotonin

Banten ngotonin / otonan
Upacara Banten Ngotonin memiliki sifat yang fleksibel dan tidak harus dilakukan secara mewah. Semuanya bergantung pada niat dan ketulusan masing-masing individu.

Saat melakukan prosesi otonan, beberapa masyarakat menggunakan banten tumpeng tiga atau tumpeng lima. Banten tumpeng lima umumnya terdiri dari:

1. Banten Pengambeyan

Banten Pengambeyan terbuat dari alas berupa taledan yang dihiasi dengan raka-raka (buah-buahan) lengkap. Banten ini dilengkapi dengan jajan bantal pengambeyan, nasi berupa dua tumpeng yang di tengah-tengahnya disandarkan ketipat pengambeyan, dua buah tulung pengambeyan yang berisi nasi, kacang saur, kojong rangkadan, dan ayam panggang. Di samping itu, terdapat sampiyan pengambeyan dan sebuah canang.

Kata "Ngambe" berarti memanggil atau memohon. Banten Pengambeyan mengandung makna simbolis memohon karunia Sang Hyang Widhi dan para leluhur, agar manusia dapat menikmati hidup dan kehidupan selalu berdasarkan Dharma di bawah lindungan dan kendali Sang Hyang Widhi dan para Leluhur. Di sini, terungkap permohonan akan ketegaran dan ketangguhan untuk menghadapi tantangan hidup dan kehidupan, serta harapan akan mendapatkan berkah dan perlindungan dari alam spiritual.

2. Banten Dapetan

Banten Dapetan terbuat dari alas berupa taledan yang dihiasi dengan raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasinya berupa satu tumpeng, dilengkapi dengan kojong rangkadan, serta sampiyan jeet goak dan sasedep yang berisi benang putih. Di samping itu, terdapat penyenang (berupa tumpeng tiga buah) dan sebuah canang.

Banten Dapetan mengandung pesan bahwa seseorang harus siap menghadapi kenyataan hidup dalam suka dan duka. Harapan setiap orang adalah akan berlimpahnya kesehatan, kebahagiaan, panjang umur, dan keselamatan. Banten Dapetan juga merupakan ungkapan terima kasih dan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa (Santosa), karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani kehidupan, serta permohonan agar senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan mendapatkan berkah-Nya.

3. Banten Peras

Banten Peras terbuat dari alas berupa taledan yang diisi dengan raka-raka (buah-buahan) lengkap. Di atas taledan tersebut, kulit peras dialasi dengan beras dan di atasnya ditaruh nasi berupa dua buah untek, sirih tampelan, benang, dan kojong rangkadan. Banten ini dilengkapi dengan sampiyan peras atau pengambeyan, serta dapat ditambahkan ayam panggang atau tutu dan sebuah canang sari.

Maknanya sesuai dengan namanya, yaitu Banten Peras, yang memohon keberhasilan, kesuksesan, atau prasidha (Sidhakarya) dalam suatu Yajña atau upacara. Di dalamnya terkandung permohonan kepada Sang Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Tri Murti, agar menyucikan Tri Guna (sifat Sāttwam, Rājah, dan Tāmah) pada diri manusia. Ini mencerminkan harapan akan kesuksesan dalam melaksanakan upacara serta penyucian diri dari sifat-sifat yang tidak diinginkan.

4. Ajuman atau Sodan

Banten Ajuman terbuat dari alas berupa taledan yang dihiasi dengan raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasinya terdiri dari dua kelompok kecil nasi sodan, yang disajikan dengan ulam (daging) dalam ceper (rerasmen) atau dalam ituk-ituk, serta sebuah canang. Sodan yang lebih lengkap dapat diisi dengan sampiyan slangsang atau sampiyan cili, dan dilengkapi dengan ayam panggang atau tutu. Selain itu, dapat juga ditambahkan ketupat kelanan.

Banten Ajuman atau Sodan mempersembahkan makanan yang dilengkapi dengan sirih (canang), karena umat manusia diwajibkan mempersembahkan terlebih dahulu apa saja yang hendak dinikmati. Menurut ajaran Hindu Bali, seseorang yang menikmati makanan tanpa mempersembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan, dinyatakan sebagai pencuri yang menikmati pahala dosanya sendiri. Dengan demikian, penyajian Ajuman atau Sodan dalam upacara Ngotonin bukan hanya sebagai tindakan ritual, tetapi juga sebagai wujud penghormatan dan pengakuan akan kebesaran Tuhan serta peringatan akan pentingnya berbuat dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.

5. Banten Segehan

Banten Sayut Lara Mararadan terbuat dari alas berupa tamas sesayut, yang dihiasi dengan raka-raka (buah-buahan) lengkap. Bagian utama dari banten ini adalah nasi yang disajikan di atas sebuah kulit sayut, sebagian dari nasi tersebut menggunakan tepi (masibeh) yang berisi nasi maura dan kacang saur. Banten ini dilengkapi dengan tiga tanding kojong rangkadan, dan tiga batang linting kapas berisi celupan minyak kelapa yang dinyalakan saat natab linding. Sampiyan yang disertakan antara lain nagasari, sasedep, wadah uyah, penyenang, lis padma, dan pabresihan payasan. Di samping itu, terdapat sebuah kelapa gading muda (dikasturi/dibuka) yang airnya digunakan untuk dicipratkan dengan menggunakan lis padma, yang berfungsi untuk menghanyutkan lara dan sebuah canang.

Sesuai dengan namanya, banten ini mengandung makna keselamatan, permohonan kesejahteraan, dan harapan untuk berkurang serta lenyapnya semua jenis penyakit. Termasuk di dalamnya penyakit yang disebabkan oleh kekuasaan alam seperti cuaca buruk atau banjir besar, penyakit yang disebabkan oleh virus atau kuman, atau penyakit yang disebabkan oleh kurangnya kesehatan dan ketahanan tubuh seseorang. Dengan penyelenggaraan upacara yang penuh makna ini, umat Hindu Bali berharap mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan dari Sang Hyang Widhi Wasa serta menjaga kesehatan fisik dan spiritual.

Selain banten-banten tersebut, terdapat juga sarana-sarana lain seperti bija, dupa, toya anyar, tirta panglukatan, dan Tirta Hyang Guru. Semua ini digunakan dalam rangka memperkuat spiritualitas dan memohon berkah dari Tuhan serta leluhur dalam menjalani kehidupan.

Pelaksanaan Prosesi Ngotonin

Pelaksanaan Prosesi Ngotonin
Sebelum memasuki prosesi ngotonin, Sang Ibu dari anak yang akan diotonkan melakukan beberapa tahapan prosesi sebagai persiapan:

  • Ngayab Sarana Banten: Sang Ibu menyajikan banten kehadapan Sang Hyang Atma sebagai tanda bahwa hari itu merupakan hari lahirnya Sang Hyang Atma yang menjelma sebagai manusia di Bumi.
  • Menghaturkan Segehan: Segehan dihaturkan di bawah bale atau tempat di mana anak akan diotonkan, sebagai doa kepada Sang Hyang Butha Kala agar prosesi otonan berjalan lancar dan sang anak terhindar dari marabahaya.

Setelah tahapan awal tersebut, prosesi Ngotonin dilanjutkan dengan tahapan-tahapan berikut:

1. Mesapuh-sapuh

Mesapuh-sapuh dilakukan dengan mengusapkan kedua tangan Sang Anak menggunakan Buu, dimulai dari tangan kanan ke tangan kiri. Sang Ibu juga akan mengucapkan sesontengan atau doa otonan dalam bahasa Bali, yang berarti:
"Ne cening jani mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip".
Artinya: segala kekotoran di tangan Sang Anak diharapkan hilang, sehingga ia dapat memegang kehidupan dengan tangan yang bersih.

Setelah itu, prosesi dilanjutkan dengan mengusapkan Toya Anyar. Tujuan dari prosesi ini adalah menghilangkan mala atau leteh pada badan anak yang bersangkutan (anak yang meoton), sehingga ia bisa dimulai dengan kesucian dan keselamatan dalam perjalanan hidupnya.

2. Matepung Tawar

Setelah prosesi Mesapuh-Sapuh, langkah selanjutnya adalah prosesi matepung tawar atau masegau, yang juga melibatkan penggunaan sarana daun dapdap yang diusapkan pada kedua tangan anak yang sedang meoton.

Dalam prosesi ini, Sang Ibu juga akan mengucapkan sesontengan, yang berbunyi:
"Jani cening masegau, suba leh liman ceninge. Melah-melah ngembel rahayu".
Dengan doa ini, tangan yang sudah bersih diharapkan mampu memegang segala keharmonisan dengan baik, menjaga keselamatan dan kedamaian dalam hidupnya.

Selanjutnya, Sang Ibu akan memercikkan tirta panglukatan dengan tujuan menyucikan dan menetralisir kembali Sang Hyang Atma. Harapannya adalah agar jiwa yang bersangkutan senantiasa tetap suci, baik, dan selalu dalam perlindungan baik secara lahir maupun batin. Dengan demikian, anak yang meoton akan dimulai dengan kesucian dan keselamatan dalam perjalanan hidupnya, terjaga dari segala marabahaya, dan senantiasa terhubung dengan kekuatan spiritual yang melindungi.

3. Matetebus

Setelah prosesi matepung tawar, langkah selanjutnya adalah prosesi matetebusan yang menggunakan benang berwarna putih.

Sang Ibu akan mengambil dua helai benang putih. Satu helai akan diletakkan di kepala atau telinga Sang Anak, sementara yang satunya lagi akan dililitkan menjadi gelang di pergelangan tangan kanan Si Anak.

Dalam prosesi ini, Sang Ibu juga akan mengucapkan sesontengan:
"Jani cening magelang benang, apang cening mauwat kawat matulang besi".
Maknanya adalah dengan gelang tersebut, Sang Anak diharapkan memiliki tubuh yang sehat seperti otot kawat dan tulang besi, yang kuat dan tangguh dalam menghadapi segala rintangan dalam hidupnya.

Selanjutnya, prosesi dilanjutkan dengan pemercikan Tirta Hyang Guru sebagai permohonan agar Sang Anak memperoleh kesehatan, kesempatan lahir batin, dan mendapat perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Dengan demikian, diharapkan anak yang meoton dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dilindungi oleh kekuatan spiritual, dan memperoleh berkah dalam setiap langkah hidupnya.

4. Ngayab Sesayut

Langkah selanjutnya adalah prosesi ngayab sesayut, di mana Sang Ibu memutar sesayut searah jarum jam. Sambil melakukan prosesi ini, Sang Ibu mengucapkan sesontengan:
"Ne cening ngilehang sampan, ngilehan perahu, batu mokocok, tunked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu bencah".
Maknanya adalah agar Sang Anak tetap teguh dalam pendiriannya dan memiliki kepribadian yang stabil dalam menjalani kehidupan di dunia. Dengan memutar sesayut searah jarum jam, diharapkan Sang Anak akan menjadi pribadi yang kuat, dapat menghadapi arus kehidupan dengan keberanian, serta tetap teguh dalam nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diyakininya.

Kewajiban Ngotonin

Kewajiban Ngotonin
Penyelenggaraan Ngotonin untuk anak merupakan kewajiban bagi orang tua atau Guru Rupaka sebagai pembayaran hutang (Rna) terhadap leluhurnya yang datang menjelma meminta panyupatan. Hal ini dianggap sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap peran leluhur dalam kehidupan keluarga. Jika anak-anak sudah meninggalkan rumah untuk hidup berumah tangga, penyelenggaraan Ngotonin dilakukan oleh sanak keluarga, karena hidup manusia tidak terpisahkan dari kebersamaan dan saling tolong menolong.

Namun, jika sanak keluarga tidak ada atau berada di tempat yang jauh, dan individu tersebut hidup menyendiri, maka pelaksanaan Ngotonin dapat dilakukan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk menjalankan upacara tersebut, didukung dengan usaha dan dedikasi pribadi untuk mencapai tujuan spiritualnya. Pelaksanaan Ngotonin bukan hanya merupakan sebuah kewajiban, tetapi juga menjadi bagian dari proses penghormatan terhadap leluhur, memperkuat ikatan keluarga, dan menjaga tradisi keagamaan dalam masyarakat Hindu Bali.

Penutup

Dengan selesainya prosesi Ngotonin, sebuah perjalanan spiritual telah dilalui untuk memperingati kelahiran Sang Anak. Melalui upacara ini, bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga sebuah momen yang sarat makna dan keberkahan bagi keluarga Hindu Bali.

Setiap tahapan dalam prosesi Ngotonin memiliki makna yang dalam, melambangkan penghormatan kepada leluhur, permohonan berkah kepada Tuhan, serta harapan untuk keselamatan dan kesucian bagi Sang Anak. Dalam setiap doa dan tindakan, tersemat keinginan yang tulus untuk membimbing Sang Anak menuju kehidupan yang bermakna dan harmonis.

Dengan demikian, melalui prosesi Ngotonin, diharapkan setiap individu Hindu Bali dapat mengingat dan merayakan kelahiran dengan penuh kesyukuran, serta menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan nilai-nilai spiritual dan keberkahan yang ada dalam agama Hindu.

Refrensi:
  • Dra. Ni Made Sri Arwati, Msi. (2006). Upacara Ngotonin
Posting Komentar

Posting Komentar