Dalam hamparan budaya Bali yang kaya, Lontar memancarkan keajaiban yang mengagumkan. Sebagai produk budaya Bali yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia, Lontar menjadi simbol kearifan dan kekayaan spiritual yang tak ternilai. Masyarakat Bali menganggap Lontar memiliki arti yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Sejak zaman dulu, Lontar telah mengandung makna yang sangat khas. Ketika kata atau istilah "lontar" disebutkan, bayangan orang langsung tertuju pada sesuatu benda dalam wujud tertentu. Di Bali, Lontar tidak hanya dianggap sebagai sekadar kumpulan teks kuno, tetapi sebagai lambang suci dari warisan kekayaan rohani. Keberadaannya memancarkan arti yang sangat penting dan strategis bagi masyarakat Bali hingga saat ini. Dengan keyakinan yang dalam, mari kita telusuri lebih jauh ke dalam keajaiban dan kearifan yang tersemat dalam setiap lembaran Lontar.
Pengertian Lontar
Lontar adalah sebuah teks warisan yang menyimpan kearifan leluhur dalam bentuk purana, khususnya sebagai bagian dari Weda Smerti dalam kelompok Upaweda. Sebagai kitab suci umat Hindu Dharma, Lontar diyakini akan tetap ada selama kehidupan ini masih berlangsung. Di banyak tempat, khususnya di pulau Bali, Lontar dianggap sebagai salah satu bentuk naskah kuno yang kaya akan nilai sejarah dan spiritual.
Kata "lontar" sendiri memiliki hubungan erat dengan bahan pembuatannya, yaitu daun rontal atau tal, yang merupakan sejenis daun palma (borassus flabelliformis). Teks pada lontar ditulis secara manual pada helai-helai daun rontal, dan juga sering kali dihiasi dengan prasi berbentuk gambar dan lukisan, yang memiliki makna penting dalam konteks ilmu pengetahuan dan pengalaman spiritual.
Dalam kepercayaan Hindu, Lontar tidak hanya menjadi catatan sejarah dan ajaran, tetapi juga menjadi panduan untuk meningkatkan kesucian batin dan pengalaman hidup. Konsep karma, yang dicatat dalam Kanda Pat, menegaskan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang diukur oleh Sang Suratma, menentukan apakah seseorang akan mencapai moksa atau tidak, yaitu persatuan atman dengan brahman. Dengan demikian, Lontar bukan hanya sekadar teks kuno, tetapi juga sebuah jendela yang memandu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan spiritualitas.
Jenis-Jenis Lontar
Sebelum menjelajahi lontar-lontar yang menjadi sumber ajaran filsafat Ketuhanan, penting untuk memahami beberapa jenis lontar yang ada. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Lontar-lontar tentang Puja
Berisi panduan tentang upacara pemujaan yang dilakukan oleh para Sulinggih saat melakukan "muput" atau pemujaan dalam upacara agama. Lontar-lontar ini menggunakan bahasa Sanskerta.
Contoh-contoh lontar dalam kategori ini termasuk: Wedapankrama, Suryasewana, Arghapatra, Puja Ksatrya, Puja-Mamukur, dan Kajang-Pitra-Puja.
2. Lontar-lontar tentang Yajna
Jenis lontar ini beragam, umumnya berisi petunjuk umum untuk melaksanakan upacara Yadjna, termasuk jenis banten atau sesajennya, perlengkapannya, dan lain-lain.
Contoh-contoh lontar dalam kategori ini termasuk: Dewa-tatwa, Sundarigama, Wrhaspatikalpa, Yamapurwana Tatwa, Kramaning Madiksa, Dharma-koripan, Janma-prakerti, Anggastiaprana, Sri Purana, dan Tatwa-Siwa-Purana.
3. Lontar-lontar Wariga
Lontar-lontar Wariga merupakan jenis lontar yang erat kaitannya dengan lontar-lontar tentang Yadjna. Lontar-lontar ini memiliki peran khusus dalam konteks upacara Yadjna dan sering kali memberikan petunjuk lebih lanjut tentang pelaksanaan upacara tersebut.
Contoh-contoh lontar dalam kategori ini termasuk: Wariga Gemet, Wariga Krimping, Wariga, Wariga Parerasian, Wariga Palalawangan, dan Purwaka Wariga.
4. Lontar-lontar Etika
Berisi ajaran tentang etika, kebajikan, dan tuntunan untuk menjadi orang "Sadhu", yaitu orang yang arif, bijaksana, berbudi luhur, berpribadi mulia, dan berhati suci.
Contoh-contoh lontar dalam kategori ini termasuk: Sarasamusccaya, Slokantara, Agastiaparwa, Siwasasana, Wratisasana, Silakrama, dan Pancasiksa.
5. Lontar-lontar Tattwa
Jenis lontar ini memuat ajaran tentang Ketuhanan, penjadian alam semesta, Yoga, "Kelepasan", dan lain-lain. Sebagian besar lontar dalam kategori ini bersifat Siwaistis.
Contoh-contoh lontar dalam kategori ini termasuk: Bhuvana Kosa, Ganapatitatwa, Jnanasiddhanta, Bhuvana Sangksepa, Sanghyang Mahajnana, Tatwajnana, dan Wrhaspati-Tattwa.
Proses Pembuatan Lontar Bali Kuno
Lontar Bali kuno bermula dari pemilihan pohon ental yang sesuai dan memiliki ukuran yang tepat. Sebelum diolah, daun ental dipotong sesuai dengan ukuran lontar, biasanya berkisar antara 20 cm hingga 60 cm, dan lidi-lidi di sisi daun dibersihkan sebelum dijemur. Daun kemudian direndam dalam air sungai atau bak besar selama sekitar tiga minggu, dengan proses penekanan menggunakan batu, untuk menghilangkan zat hijau yang masih menempel pada daun.
Proses ini diulang-ulang hingga daun benar-benar bersih dari kotoran dan zat-zat yang tidak diinginkan. Setelah itu, daun dikeringkan dan direbus menggunakan rempah-rempah selama minimal 8 jam sebelum dikeringkan kembali. Kemudian, daun dimasukkan ke dalam nyepit atau mlagbag (penjepit kertas) agar tetap lurus dan tidak mudah melengkung, seringkali memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Selanjutnya, daun dilubangi di sisinya menggunakan pirit, dihaluskan dengan diserut di bagian pinggirnya, dan diwarnai menggunakan benang sipat yang telah direndam dalam campuran tinta alami. Dalam satu lembar daun lontar, dibuat empat garis sejajar dengan hati-hati di atas pepesan atau daun lontar. Setelah semua proses ini dilalui dengan baik, pepesan atau daun lontar siap untuk ditulisi, menjadi sarana penyimpanan dan penyebaran kearifan kuno yang bernilai tinggi.
Cara Menulis atau Nyurat Lontar
Dalam tradisi penulisan lontar, sebelum memulai menggoreskan pangrupak di atas lempiran lontar, seorang pengawi atau penyalin biasanya melakukan ritual kecil untuk memohon anugerah kepada Ida Sang Hyang Aji Saraswati, sida sidi kasaraswaten. Proses ini memperlihatkan hakikat menulis sebagai praktik yoga spiritualitas, yang melibatkan pengasahan dan penerapan kemampuan intelektual, kualitas intuitif, kehalusan rasa, serta menjaga irama pernafasan yang teratur dan jernih.
Sebagaimana terungkap dalam lontar Tutur Saraswati, Hyang Yogiswara diyakini berstana pada kedua mata penulis lontar, Bhagawan Mredhu berstana pada kedua tangan penulis, dan Baghawan Reka berstana pada ujung pangrupak. Keyakinan ini mendorong penulis lontar untuk berusaha keras menjaga kebersihan dan keindahan tulisan, serta menjaga agar tidak mencoret aksara dengan sembarangan. Mereka percaya bahwa tindakan tersebut akan membawa akibat buruk, seperti umur pendek atau berbagai macam penyakit.
Prinsip ini menjadikan lontar terlihat bersih dan rapi, dengan tulisan yang tampak seolah tidak ada aksara yang dicoret. Seandainya terjadi kesalahan tulis, penulis biasanya membubuhkan dua sandangan (pangangge) aksara, sehingga aksara yang salah tulis tidak berbunyi (mati). Sandangan yang lazim digunakan adalah ulu dan suku. Oleh karena itu, masyarakat Bali sering menggunakan perumpamaan "bagaikan aksara memakai dua sandangan suara, masuku (memakai suku) dan maulu (memakai ulu)", yang menggambarkan sesuatu yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, alias sudah mati.
Menulis di atas daun lontar tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Ada beberapa teknik yang harus diperhatikan dengan cermat. Salah satunya adalah menggunakan pisau khusus yang disebut pengrupak untuk menuliskannya. Setelah ditulis, daun lontar kemudian digosok dengan kemiri yang dibakar dari arah kanan ke kiri. Proses ini dilakukan dengan sedikit tekanan menggunakan jari, sebelum akhirnya daun dibersihkan atau dilap dengan kain atau tisu.
Posisi tangan juga harus diperhatikan dengan seksama, tidak boleh miring, dan harus berada di atas bantalan kecil agar tulisan dapat dilakukan dengan tepat dan akurat. Dengan mengikuti teknik-teknik ini, tulisan pada daun lontar dapat dipastikan menjadi jelas dan terbaca dengan baik, menjaga keaslian dan keindahan dari setiap karya yang terukir dalam warisan budaya lontar.
Lontar Sebagai Warisan Budaya
Lontar bukan hanya sekadar produk budaya Bali, tetapi juga telah diakui sebagai warisan budaya dunia. Menurut Bali Cultural Heritage Conservation, Volume 10 (1998: 2-6), lontar Bali termasuk dalam kategori warisan budaya dunia karena memiliki karakteristik yang unik, antara lain:
- Warisan Budaya Intelektual: Lontar mengandung pengetahuan, kearifan, dan nilai-nilai yang merupakan bagian penting dari intelektualitas budaya Bali.
- Tradisi yang Hidup: Penggunaan dan penyalinan lontar masih terjadi secara aktif dalam masyarakat Bali, menjadikannya sebagai tradisi yang masih hidup dan terus berkembang.
- Mudah Dipindahkan: Lontar dapat dengan mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya, memfasilitasi penyebaran dan penyalinan ke berbagai wilayah.
- Memiliki Wujud Fisik dan Non-Fisik: Selain memiliki wujud fisik berupa lembaran daun, lontar juga mengandung nilai-nilai non-fisik seperti spiritualitas, kearifan lokal, dan tradisi keagamaan.
- Memiliki Fungsi dan Kedudukan yang Terhormat: Dalam masyarakat Bali, lontar memiliki fungsi dan kedudukan yang dihormati serta disucikan, menjadi bagian integral dari kehidupan dan kepercayaan masyarakat.
- Telah Menjadi Salah Satu Warisan Dunia: Pengakuan ini menegaskan bahwa lontar telah diakui secara internasional sebagai bagian penting dari warisan budaya dunia, mewariskan nilai-nilai luhur dan kearifan nenek moyang kepada generasi mendatang.
Penutup
Lontar bukan sekadar kumpulan teks kuno, melainkan sebuah warisan budaya yang bernilai tinggi bagi masyarakat Bali dan dunia. Kehadirannya tidak hanya sebagai penjaga kearifan dan kebijaksanaan nenek moyang, tetapi juga sebagai panduan spiritual yang membimbing generasi-generasi mendatang.
Dengan keunikan karakteristiknya yang meliputi warisan budaya intelektual, tradisi hidup, kemudahan dipindahkan, wujud fisik dan non-fisik, fungsi yang terhormat, dan pengakuan sebagai warisan dunia, Lontar Bali terus mempesona dan menginspirasi. Melalui setiap lekuk aksara dan setiap cerita yang terpahat, Lontar menyampaikan pesan-pesan kebijaksanaan, keadilan, dan ketulusan.
Mari kita terus menghargai dan melestarikan keindahan Lontar Bali, menjaga warisan budaya ini agar tetap abadi dan terus memberikan cahaya bagi masa depan yang lebih baik. Dengan begitu, kearifan nenek moyang akan terus bersinar, menerangi langkah-langkah kita menuju kehidupan yang lebih harmonis dan penuh makna.
Posting Komentar